Debat atau Rendah Hati
Beberapa tahun yang lalu, saat saya naik mobil menuju rumah dari konferensi bersama seorang pegawai. Kami berkawan baik, saya pikir. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ron, saya punya masalah besar dengan kamu. Lebih tepatnya, banyak sekali masalah dengan kamu.” Kemudian membahas semua masalah yang dia lihat pada saya.
Saya terkejut. Sebenarnya itu masalah dia bukan masalah saya. Jujur, saya rasa dia iri pada saya. Sudah bukan rahasia kalau semua orang di organisasi kami lebih condong pada saya dari pada dia.
Saya tetap diam selama dia memamaparkan semua permasalahan. Kemudian saya pulang kerumah dan mulai menulis semua masalahnya. Hasilnya adalah kartu dengan ukuran 3X5 inci, depan-belakang terisi penuh, dengan huruf yang kecil sekali.
Saya sudah siap berkonfrontasi dengannya. Namun sebelum itu, saya menemui bekas profesor yang mengajar saya untuk meminta nasihat. Setelah menceritakan duduk permasalahannya, saya bertanya bagaimana saya harus berkonfrontasi dengan teman kerja saya itu. Jawabnya, “Jangan”.
“Jangan ?” kata saya “Dia layak mendapatkannya. Seharusnya ia tahu masalah itu adalah masalah pada dirinya. Hanya ini yang dapat saya lakukan.
Mentor saya mengatakan bahwa teman kerja saya itu memang memerlukan klarifikasi dari saya. Namun saat ini yang dia perlukan adalah pengertian dan penghargaan dari saya. Dengan memberikan pengertian dan penghargaan, membuat dia terbuka untuk menerima didikan yang dia perlukan.
Akhirnya saya mengikuti arahan profesor. Saya kembali pada teman kerja itu dan saya bertanya dengan spesifik, apa yang harus saya perbuat agar saya dapat bertumbuh. 10 bulan kemudian, dia memanggil saya untuk bertemu dikantornya. Dia berkata, “Ron, kamu ingat waktu saya memaparkan kesalahan kamu? Saya akui saya salah. Jujur, waktu itu saya iri akan keberhasilan kamu. Kamu tidak berkonfrontasi dengan saya malah, kamu ingin belajar untuk berubah. Ini membuat saya malu. Saya mau minta maaf? Apakah kamu memaafkan saya?”
Tentu saja saya memaafkannya. Kartu yang saya buat itu telah saya buang beberapa bulan yang lalu.
Apakah dengan sikap kerendahan hati dan pengertian dari kita akan selalu berbuah seperti cerita diatas? Tidak selalu. Namun ini satu-satunya jalan yang paling potensial.
Kisah ini diambil dari “Make a Life Not Just A Living” karya Dr. Ron Jenson.
Perdebatan, menyerang dan berkonfrontasi tidak akan menyelesaikan masalah. Yang tertinggal adalah rasa marah, dendam bahkan mungkin rasa benci yang makin bertambah.
Menyerah? No-Way!
Berikut percakapan seorang pelatih saat memberi semangat pada tim-nya.
“Apakah Michael Jordan pernah menyerah saat bertanding?”, tanya sang pelatih. “Tidak”, jawab anak didiknya.
“Apakah Muhamad Ali pernah menyerah saat bertanding?”, sekali lagi tanya pelatih. “Tidak”, jawab seluruh anak didiknya.
“Apakah McAlliestier pernah menyerah saat bertandaing?”, tanya pelatih.
Hening sejenak. Salah satu anggota team bertanya, “Siapa McAlliestier?”.
Jawab pelatih, “Tentu kalian tidak mengenal dia, karena dia menyerah saat bertanding.”
Pembaca, apakah kalian juga akan menyerah dan tidak menjadi apa-apa?
Negator..!!!
Mungkin cerita ini sudah cukup usang… tapi sangat baik untuk menggambarkan cara kita menghadapi negator.
Suatu waktu, ada pertandingan memanjat diantara katak-katak muda. Katak pertama mencoba memanjat, meloncat dari satu rintangan ke rintangan yang lain. Sampai ia menghadapi satu rintangan sulit. Terdengar suara penonton berkomentar. Wah.. tidak akan berhasil melewatinya. Gak mungkin, dia pasti jatuh. Dan apa yang terjadi? Katak itu mendengar keraguan para penonton. Dan… ia pun terjatuh. Begitu juga dengan katak-katak yang lainnya.
Akhirnya tiba pada katak yang terakhir untuk mencoba melewati rintangan-rintangan ini. Komentar penonton tetap sama. Bahwa ia akan gagal. Namun katak itu seperti tidak peduli. Dia tetap terus melompat melewati rintangan-rintangan. Hingga sampai pada rintangan tersulit. Komentar para penonton pun makin keras. Wah.. pasti jatuh. Kalau tidak hati-hati dia pasti terjatuh dan mati. Gak mungkin.. pasti tergelincir.. terlalu sulit. Namun lagi-lagi nampak si katak tidak peduli, dia sekuat tenaga ia meloncat rintangan tersulit itu. Dan waw… berhasil.
Kemudian ditanyalah si katak itu.. kenapa ia bisa berhasil. Dan ternyata katak itu tuli. Dia tidak mendengar komentar para penonton. Si katak mengira ia disemangati oleh penonton.
Nah, mungkin kita tidak perlu terlalu ekstrim seperti katak tuli dalam menghadapi negator. Tidak selamanya negator 100% negatif. Pandai-pandai lah kita dalam memfilter masukan dari para negator. Buang yang jelek, simpan yang bagus.
Gapai Impian
Impian, siapa yang tidak pernah punya impian? Saya rasa tidak mungkin. Pasti setiap orang punya impian. Punya impian itu wajib… kenapa? Yah.. salah satu pemacu motivasi kita adalah impian. Boleh dibilang impian itu bensin biar motivasi kita terus dibakar… semangat terus pantang mundur.
Impian beda dengan khayalan loh… Impian itu harus masuk akal. Yah.. contoh ekstrem saya ingin membahagiakan ibu saya, sementara ibu saya sudah meninggal.. nah itu sih impian yang udah basi dan gak masuk akal alias ngayal..!
Impian itu sesuatu keinginan, cita-cita, harapan yang ingin kita capai, baik dan benar adanya. Coba Anda tanya diri Anda, apakah impian Anda? Begitu beratkah impian itu untuk diraih? Merasa lelah, putus asa ketika akan meraihnya? Apakah saya salah menggantungkan impian setinggi langit?
Teman, sering kali kita menggantungkan impian tinggi sekali, tapi kita tidak membuat target-target dekat untuk mencapainya. Segala sesuatu tidak ada yang instan (bahkan mi instan sekalipun harus dimasak, dan tidak sehat pula ). Buatlah target-target kecil dalam mencapai impian kita. Setiap keberhasilan kecil, yang akan membawa pada tujuan akhir kita. Dengan target-target kecil yang berhasil kita capai, kita akan semakin termotivasi, karena bayangan impian yang akan kita tuju makin terlihat.
Saya jadi ingat waktu masa SMA, kelompok kami sangat suka berkemah. Satu kali, saat pulang dari perkemahan, tiba-tiba ada ide konyol untuk pulang dari Desa Lembang ke Kota Bandung dengan berjalan kaki. Yah, kurang lebih 15 Km. Dan herannya kami semua setuju untuk melakukan ide tersebut. Selama perjalanan kami bersenda gurau, dan mampir di warung-warung untuk menghilangkan lelah dan haus. Kami dapat mencapai Kota Bandung, karena bilamana terasa lelah, kita berusaha mencapai warung terdekat yang menyediakan minuman segar. Jadi target kami selama perjalanan adalah warung terdekat yang ada minuman dingin dan bisa bersantai ria melepas lelah.
Begitu juga saat kita menggapai impian, buatlah target terdekat Anda. Keberhasilan kecil akan membuat Anda semangat untuk mencapai target yang sesungguhnya.